Sepatu Merah Kiki
"Kiki, uang jajan untuk hari ini Ibu taruh di bawah tudung saji! Ibu berangkat dulu, ya!” Pamit Ibu dari ruang makan. Hari ini Ibu dan Ayah ada jadwal belanja di supermarket. Ya, belanja bulanan.
“Iya,
Buu!” Kiki mendengar suara mobil yang menderu. Brrrrmmm. Lalu Kiki menuruni anak tangga dan menuju ruang makan.
Kiki membuka tudung saji dan, voila!
Teerdapat dua lembar uang berwarna ungu. Mata Kiki berbinar-binar. Dengan
segera ia memasukkan uang tersebut ke dalam saku lalu kembali ke kamar.
Bagi Kiki, Hari Senin adalah hari yang saaangat spesial. Berbalik dengan kebanyakan orang yang bilang kalau Hari Senin adalah hari yang menyebalkan. Kiki sangat menyukai Hari Senin. Tentu saja karena setiap Hari Senin, Ibu memberi uang saku mingguan kepada Kiki. Sebenarnya dalam satu minggu, Kiki harusnya mendapat uang saku sebesar empat puluh ribu rupiah. Namun karena sedang dilanda pandemi yang menyebar luas, uang saku Kiki jadi terpotong sebesar lima puluh persen. Sekolah Kiki libur. Eh, bukan libur! Lebih tepatnya belajar dari rumah melalui sistem dalam jaringan alias daring.
Di kamar, Kiki
memasukkan uangnya ke dalam celengan miliknya yang berbentuk ayam. Hadiah ulang
tahun dari Kakek. Agar Kiki lebih rajin menabung katanya. Benar saja, dalam
satu bulan celengan tersebut sudah terisi setengahnya. Omong-omong, karena ada
dua lembar uang sepuluh ribu, Kiki hanya memasukkan satu lembar ke dalam
celengan. Satu lembar lagi ingin Kiki gunakan untuk jajan cilok. Kiki sedang
ingin makan cilok. Sudah lama tidak beli cilok.
“Asyik, mari kita hitung!” Kiki
membuka celengan ayamnya. Celengan Kiki terdapat tutup yang bisa dibuka.
Sekarang Kiki ingin menghitung berapa total uang yang sudah Kiki kumpulkan
selama satu bulan ini. “sepuluh ... dua puluh ... tiga puluh ... Hah?! sudah
sembilan puluh ribu. Ditambah dengan uang hari ini jadi ...” Kiki menatap
langit-langit. “SERATUS RIBU!!!” Yes!
Akhirnya aku bisa membeli barang itu!
“Wah, adikku sedang menghitung
tabungan, ya?” Kakak Kiki, Kak Kintan, tiba-tiba muncul di depan pintu.
“Iya, Kak! Lihat celengan Kiki.
Sudah terisi separuh. Kiki mau beli sepatu roda yang kemarin itu lho!” Kiki
dengan bangga memperlihatkan tabungannya kepada Kakaknya.
“Wah, hebat sekali! Kapan-kapan
boleh dong Kiki traktir Kakak?”
“Enak saja!” Kiki menjulurkan lidah,
memeluk celengannya erat-erat. Kiki melirik jam dinding. Pukul sepuluh pagi!
Berarti tokonya sudah buka.
“Ada apa, Ki?” tanya Kak Kintan. Kak
Kintan melihat Kiki yang raut wajahnya terlihat sedang merencanakan sesuatu.
“Kak, Kiki mau sepedaan dulu, ya!”
“Mau kemana? Kakak mau lanjut
mengerjakan tugas. Memangnya kamu tidak ada tugas?” tanya Kak Kintan.
“Tidak. Kata Safira, hari ini libur.
Karena sistemnya ada ... apa tadi namanya? Menti... menti-menti gitu deh!” Kiki
berusaha mengingat-ingat apa yang dikabarkan sahabatnya tadi.
“Ooh, maintenance mungkin maksudnya,” kata Kak Kintan.
“Nah, iya. Sudah ya, Kak. Kiki mau
sepedaan dulu,” pamit Kiki. Segera Kiki menuruni tangga.
“Hati-hati! Maskernya jangan lupa!”
seru Kak Kintan mengingatkan. Ya, di masa pandemi ini selain sedang maraknya
sepedaan, kita juga harus mematuhi protokol kesehatan yang telah dianjurkan.
Kiki mengambil
maskernya yang berbahan kain dan berwarna merah marun. Lalu segera menaiki
sepeda miliknya yang terparkir di depan rumah. Sepeda Kiki berwarna merah juga,
cocok dengan masker yang digunakan Kiki. Ia mengayuh sepedanya ke arah Jalan
Bunga yang berada persis dua gang dari rumah Kiki. Kiki menelusuri jalan dan
sampailah ia ke sebuah toko. Toko Sepatu Estetik.
Toko Sepatu Estetik menjual berbagai
macam jenis sepatu. Kata Ibu, pemiliknya merupakan teman kecil Ibu dahulu.
Terdapat etalase yang sangat cantik. Lampu bewarna kuning yang menyinari
etalase tersebut memberi kesan hangat dan membuat siapapun yang melihatnya
tersenyum. Ada salah satu sepatu yang Kiki idam-idamkan sejak satu bulan yang
lalu. Sepatu berwarna merah dengan jahitan yang membentuk bunga di salah satu
sisinya. Kiki betul-betul ingin memasangkan sepatu tersebut di kakinya.
Pastinya Kiki akan terlihat sangat cantik. Hampir setiap hari Kiki menuju toko
sepatu tersebut untuk memastikan apakah sepatu merah yang cantik itu sudah
terjual atau belum. Kiki hanya melihatnya dari etalase, tidak berani masuk
kalau tidak ditemani Ibu.
Sebenarnya dari beberapa hari yang
lalu Kiki sudah memberitahu Ibu tentang keinginannya membeli sepatu itu, namun
Kiki baru kemarin beli sepatu olahraga untuk bersepeda. Kiki tidak gencar. Ia
mencari ide bagaimana caranya agar Kiki dapat membeli sepatu itu. Berjualan?
Kiki tidak tahu mau jualan apa. Akhirnya Kiki memilih untuk menabung. Membuat
kesepakatan dengan Ibu. Sebelum-sebelumnya, karena di rumah saja Kiki tidak
mendapatkan uang jajan. Namun karena kesepakatan Kiki dengan Ibu, akhirnya Kiki
diberi uang jajan seperti biasa. Yah, walaupun hanya lima puluh persen dari
biasanya.
Mata Kiki semakin
berbinar saat melihat sepatu merah idamannya belum terjual. Ya ampun, cantik sekali. Kiki melihat
harga sepatu merah tersebut. Terakhir Kiki lihat, harganya seratus ribu rupiah.
“Hah? Turun harga menjadi tujuh
puluh ribu rupiah?” Kiki terbelalak. Kiki takut sekali kalau ada yang membeli
sepatu itu terlebih dahulu.
“Ada yang bisa saya bantu, Dik?”
tanya seseorang. Oh, sepertinya seorang pegawai Toko Sepatu Estetik! Kebetulan
sekali.
“Mbak, tolong jaga sepatu merah ini
untuk saya. Saya mau ambil uang di rumah. Kalau ada yang ingin beli bilang saja
sudah dipesan,” kata Kiki hati-hati. Napasnya menggebu-gebu.
“Wah, kamu sangat suka dengan sepatu
itu, ya? Baiklah akan Mbak simpan untukmu.”
“Oke, Mbak. Terima kasih!” Kiki
segera menaiki sepedanya dan melaju menuju rumahnya. Jantung Kiki berdegup
kencang. Kiki sedang berada di puncak semangatnya.
Sampai rumah, Kiki
langsung lari ke kamar dan mengambil uang dari celengannya. Setelah memasukkan
uang ke dalam dompet kecilnya, Kiki segera kembali dan menaiki sepedanya.
“Kiki mau ke mana lagi?” tanya Kak
Kintan yang masih menonton televisi.
“Suatu tempat!” Kiki langsung
mengayuh sepedanya kembali.
Akhirnya
ia sampai di Toko Sepatu Estetik. Pegawai yang Kiki minta untuk menjaga
sepatunya masih berada di luar toko.
“Wah, cepat sekali!”
“Mbak, saya mau beli sepatunya,”
kata Kiki. Ia memarkir sepedanya dan segera masuk ke dalam toko.
“Baik, Dik. Tapi sebelumnya atur
napasmu terlebih dahulu, ya?” kata Mbak tersebut. Kiki mengangguk dan mengatur
napasnya. Setelah napasnya kembali santai, Kiki berjalan masuk ke dalam toko
dengan aura bahagia.
“Ukuran kakinya berapa, Dik? Dicoba
dulu, ya.” Kiki menurut dan memasangkan sepatu merah tersebut ke kakinya. Pas!
“Muat, Mbak. Mau langsung bayar,”
pinta Kiki.
“Baiklah, ditunggu, ya.”
Sementara pembayaran sedang
diproses, Kiki melihat-lihat koleksi sepatu dari Toko Sepatu Estetik ini.
Banyak sekali sepatu yang tidak kalah lucu, namun tetap saja yang memikat hati
Kiki hanyalah sepatu berwarna merah.
“Dik, sudah selesai. Ini barangnya.
Struknya ada di dalam, ya. Terima kasih telah berbelanja!”
“Sama-sama!”
Kiki keluar toko
dengan hati sangat, sangat, sangat gembira. Seolah hari ini, Kiki adalah orang
yang paling bahagia sedunia. Bisa membeli barang idamannya dengan hasil
tabungannya selama ini. Kiki sangat bersyukur.
Kiki pulang ke rumah dengan kayuhan
sepeda yang tidak terburu-buru. Kiki menikmati setiap kayuhannya. Bahkan, Kiki
tersenyum sepanjang jalan. Biar saja apa kata orang, yang penting lihat, nih!
Sepatu berwarna merah milik Kiki!
Yogyakarta, 20 Juli 2020
Nadya FJ
Comments
Post a Comment