Kisah Inspiratif: Tunanetra dan Koruptor

                Suatu ketika hiduplah seorang tunanetra di daerah pinggir kota. Setiap hari ia pergi berjualan di tengah kota untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Ia berjualan makanan ringan yang ia masukkan dalam box kecil, lalu ia kalungkan di leher.

                Pada suatu pagi yang cerah, ia memulai harinya seperti biasa. Bersyukur pada Tuhan dan bersemangat. Si Tunanetra berangkat berjualan dengan kalung box kecil yang masih kosong isinya. Tak lupa tongkat yang setia menuntunnya berjalan dan kacamata hitam. Setiap hari ia berjualan, setiap hari pula ia mengambil stock makanan ringan dari suatu toko yang tidak jauh dari rumahnya.

                Setiap ia melangkah ia selalu berdoa untuk di beri kemudahan. Setibanya di toko, ia mencari pintu dengan tongkatnya, lalu mengetuknya dengan sopan. Tok.. tok.. tok.. sang Pemilik Toko segera membuka pintu dengan sopan pula. Lalu mempersilahkan si Tunanetra untuk duduk.

                Sang Pemilik Toko bertanya, “Apa yang ingin kau jual hari ini?” Walaupun sudah tahu setiap hari si Tunanetra menjual barang-barang yang harganya paling murah, ia tetap bertanya. Untuk basa-basi agar terlihat akrab.

                “Seperti biasa, makanan yang paling murah,”jawab si Tunanetra tersenyum. Sang Pemilik Toko dengan baik hati mengambilkan makanan ringan yang si Tunanetra pesan. Tanpa disadari oleh kedua orang tersebut, salah satu bungkus makanan ringan itu sobek. Namun tidak ada yang tahu. Kecuali Tuhan Yang Maha Melihat. “Saya berangkat dulu,”pamit si Tunanetra.

Sang Pemilik Toko mengantarnya sampai depan rumah, lalu bilang, “Hati-hati.”

Si Tunanetra berjalan dengan santai namun tetap hati-hati. Sesampainya di tengah kota, ia bertanya-tanya apakah dia sudah sampai di tengah kota? Sayangnya tidak ada yang meghiraukannya. Orang-orang yang berlalu-lalang tahu kalau si Tunanetra bertanya, namun mereka terlalu takut untuk menjawabnya. Si Tunanetra merasakan hal itu. Apakah saya sudah di tengah kota? Tanyanya dalam hati. Ia tertunduk, lalu segera mengarahkan tongkatnya dan mencari tempat duduk.

“Apakah saya sudah di tengah kota?”tanyanya, “Permisi, apakah ini tengah kota?”tanyanya lagi sambil berjalan. Ia lebih terlihat seperti berbicara sendiri sambil berjalan.

Sampai akhirnya ia menemukan bangku untuk duduk. Lalu ada sesuatu yang membuatnya yakin bahwa ia sudah ada di tengah kota. Lalu ia mulai berjualan, “Beli.. beli.. makanan ringan enak. Bayar dua ribu saja.”

Terus begitu sampai adzan ashar berkumandang. Ini saatnya pulang. Dan belum ada yang membeli makanan ringannya. Tidakkah ada seseorang yang memberi pengertian pada seorang tunanetra yang butuh makan? Hamba mohon.. satu orang saja. Doanya dalam hati.

Dia tertunduk sampai ada seseorang yang menepuk pundaknya. Ia terkaget. Ia hanya mendongakkan kepala dan merasa ada seseorang yang duduk di sampingnya.

“Mas,”panggil seseorang itu.

“Siapa,ya?”tanya si Tunanetra.

“Saya ingin beli semua makanan ringan yang kamu jual,”jawabnya, menekankan kata semua. Si Tunanetra terkejut, namun dalam hatinya ia bersyukur.

“Benarkah? Silahkan coba dulu. Kalau menurut anda rasanya kurang enak, anda tidak perlu beli semua. Daripada mubadzir,”jawab si Tunanetra. Si Bapak itu menurut. Lalu ia mengambil salah satu bungkusnya. Tanpa ada yang menyadari, bungkus makanan ringan yang ia ambil adalah yang tadi sobek.

Saat ia buka dan mulai memakannya, mukanya berkerut. “Kenapa ini melempem?”tanyanya.

“Benarkah? Saya tidak tahu,”jawab si Tunanetra jujur.

“Walah, mas. Harusnya anda tahu. Kalau begini kan jadi tidak ada yang minat,”kata si Bapak itu.

“Maaf, Pak.”kata si Tunanetra bersalah. Ia berniat mulai besok akan meminta tolong sang Pemilik Toko untuk mengecek lagi barang dagangannya. “Bagaimana saya tahu kalau saya ini buta,”lanjutnya.

Si Bapak itu terkejut lalu merasa bersalah.  “Maaf, saya tidak tahu,”kata si Bapak itu. Untuk membayar kesalahannya, si Bapak itu membeli semua dagangan milik si Tunanetra dan berniat mengantarnya pulang. “Saya akan membeli daganganmu, berapa harganya?”kata si Bapak.

Si Tunanetra menjawab barang dagangannya dijual dua ribu per bungkus. Karena terdapat 10 bungkus maka totalnya dua puluh ribu. Dikurangi satu bungkus yang tadi melempem. Maka totalnya delapan belas ribu. Si Bapak menyodorkan uang berwarna biru lalu mengambil makanan-makanan ringan tersebut.

“Pak, ini kembalian,”kata si Tunanetra menyodorkan uang dua ribu.

“Tidak usah. Uangnya pas,”kata si Bapak itu.

“Dikira saya tidak tahu, Pak. Bapak memberi saya uang lebih karena tidak ada uang lembaran delapan belas ribuan.” Si Tunanetra menjelaskan.

“Hm.. Ya sudah terima saja,”kata si Bapak. Si Tunanetra menolak. “Kenapa?”tanya si Bapak.

“Saya tidak ingin dikasihani, Pak. Saya ingin mendapatkan uang dari usaha saya sendiri. Juga, bagaimana saya tahu kalau uang yang saya terima tidak sepenuhnya uang halal? Bagaimana jika ada pengemis lain yang lebih membutuhkan daripada saya?”kata si Tunanetra panjang lebar.

Seperti ada sengatan listrik berjuta-juta volt yang menyetrum si Bapak itu. Kata-kata dari orang Tunanetra itu telah menamparnya. Kenapa ia menjadi hina di depan si Tunanetra ini? Apa katanya? Bagaimana jika ada yang lebih membutuhkan daripada saya? Lantas bagaimana jika negara lebih membutuhkan uang untuk menyejahterakan masyarakat, dan aku menggunakan uang itu untuk kepentingan pribadi? Si Bapak menangis. Lalu ia bertekuk lutut di hadapan si Tunanetra. Ia menangis sejadi-jadinya. Si Tunanetra tentu tidak tahu karena ia tidak bisa melihat. Tapi ia bisa mendengar sesenggukan si bapak-bapak itu.

“Bapak menangis?”tanya si Tunanetra, “Apa perkataan saya menyinggung?”

Si Bapak tak menjawab. Ia lantas memeluk si Tunanetra. Tunanetra yang kebingungan, namun dia bisa merasakan perasaan bersalah bapak-bapak itu lantas membalas pelukannya.

 

Yogyakarta, 21 Januari 2019

Nadya FJ

Comments

Popular Posts